Majalengka — Setelah bertahun-tahun jadi simbol "bandara megah tanpa penumpang", BIJB Kertajati akhirnya menyongsong takdir barunya: pusat industri dirgantara nasional. Langkah awalnya ditandai dengan penandatanganan MoU dan Perjanjian Induk pembangunan MRO Aerospace Park Kertajati, Senin (21/4/2025), dihadiri langsung Menko AHY, Menteri PPN/Bappenas, dan jajaran pemangku kepentingan nasional.
Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) secara tegas menyebut, Kertajati tak boleh lagi jadi contoh infrastruktur mangkrak. “Kertajati ini seringkali jadi studi kasus. Infrastruktur berkelas internasional tapi tak optimal. Ini harus jadi tanggung jawab kita bersama,” tegasnya.
Fasilitas MRO (Maintenance, Repair, and Overhaul) berstandar global akan dibangun melalui kerja sama strategis dengan GMF AeroAsia. Fokus awalnya adalah sektor helikopter (rotary wing) yang kemudian ditargetkan berkembang hingga pesawat komersial (fixed wing).
“Kalau ini hidup, bukan hanya soal pesawat. Tapi ekonomi Rebana akan berdenyut,” tambah AHY.
Ekonomi dan Infrastruktur Harus Satu Napas
Menteri Bappenas Rachmat Pambudy menegaskan, proyek ini adalah model kawasan industri dirgantara berkelanjutan pertama di Indonesia. Masuk dalam RPJMN 2025–2029 dan peta jalan industri kedirgantaraan 2045, Kertajati tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja, tapi juga mengukuhkan kemandirian industri aviasi nasional.
Dari sisi konektivitas udara, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengungkap bahwa pihaknya kini sedang berdiskusi intensif dengan maskapai untuk membuka rute baru dari dan ke Kertajati. “Maskapai harus diberi insentif dan kemudahan agar mau mengisi langit BIJB,” katanya.
Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh nasional dan daerah, termasuk DPR RI, Kemhan, BIG, Pemprov Jabar, GMF, Garuda Indonesia, hingga akademisi dan pemangku adat lokal.
Catatan Sukapurwa News:
Sudah waktunya infrastruktur megah seperti BIJB tidak hanya jadi monumen kesombongan proyek nasional, tapi benar-benar hidup sebagai simpul ekonomi rakyat. Industri dirgantara tak boleh eksklusif—ia harus membuka ruang tumbuh bagi anak-anak bangsa di bidang pendidikan teknik, UMKM logistik, hingga pariwisata berbasis budaya lokal.
Karena langit Rebana tak sekadar butuh pesawat—tapi juga mimpi yang terbang tinggi dan tak mudah jatuh lagi.